Apakah PKS Masih Dalam Gerakan Dakwah Yang Murni?

www.warnaislam.com Selasa, 21 April 2009 06:03

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, saya akhir-akhir ini agak khawatir perkembangan partai dakwah (PKS) ini yang sepertinya sudah mulai meninggalkan kaidah-kaidah syari dalam pergerakannya, dan lebih cenderung pragmatis dalam bersikap,

Ustadz saya mencintai partai dakwah ini, saya tidak ingin partai ini mementingkan besarnya suara pemilu kemudian meninggalkan cita-cita utama menegakkan dienul islam , ustadz saya ingin tabayyun. Tolong ustadz untuk senantiasa menjaga kader-kader (pemimpin) partai ini.

Saya tidak tahu harus ngomong ke siapa lagi

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

lukman

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pilihan berjuang lewat jalur politik terlebih dengan mendirikan partai tentu punya alasan, sekaligus juga punya konsekuensi, selain juga punya keuntungan. Buat saya, apa yang dilakukan oleh partai kecintaan anda itu adalah bagian dari ijtihad yang bersifat jama'i. Setidaknya, itu adalah ijtihad dari ke-99 anggota Majelis Syuro.

Jadi kalau antum merasa partai kesayangan antum itu 'melenceng' dari arah perjuangannya, ada baiknya disampaikan kepada para anggota majelis syuro itu. Sebab di tangan mereka itulah sebenarnya garis kebijakan partai ditentukan.

Dan saya yakin sekali bahwa apa yang mereka gariskan itu, sudah benar. Setidaknya menurut ukuran mereka. Mungkin garis kebijakannya itu menurut antum kurang benar, atau apalah istilahnya, akan tetapi yang harus diingat, boleh jadi cara berpikir antum dengan cara berpikir ke-99 anggota Majelis Syuro agak sedikit berbeda.

Maka bukan pada kapasitas saya untuk 'menjaga' para kader seperti yang antum inginkan, juga bukan pada kapasitas saya untuk 'memperbaiki' arah perjuangan partai itu. Toh partai itu sudah dipimpin secara kolektif dan diawasi juga oleh Dewan Syariah, yang nota bene isinya adalah orang-orang yang dianggap mumpuni.

Pertanyaan Panas

Apakah PKS masih dalam gerakan dakwah yang murni?

Wah, ini pertanyaan yang cukup menarik, sekaligus cukup 'panas' buat yang membaca. Saya harus ekstra hati-hati menjawabnya, agar jangan sampai maksud baik saya malah disalah-tafsirkan.

Jadi begini, ini sekedar pandangan saya yang lemah dan kurang wawasan, silahkan dikoreksi kalau seandainya kurang berkenan. Boleh jadi saya salah.

Sebelum saya jawab apakah PKS masih merupakan gerakan dakwah yang murni, kita harus sepakati dulu pengertian atau istilah 'gerakan dakwah yang murni'.

Apakah yang dimaksud dengan istilah 'gerakan dakwah yang murni' menurut antum?

Apakah maksudnya kalau berdakwah harus 100% seperti di zaman Rasullullah SAW, yang tidak ada partai, tidak ada pemilu, tidak ada sistem demokrasi?

Ataukah yang dimaksud adalah partai dakwah itu tidak boleh menjaring suara dari orang yang belum ditarbiyah?

Ataukah yang dimaksud adalah prilaku sebagian elit partai yang sering dibicarakan punya gaya hidup yang tidak sebagaimana gaya hidup para simpatisannya, yang umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan?

Kita tentu nanti akan berbeda pendapat dengan sangat kuat, hanya gara-gara beda dalam menyepakati istilah 'gerakan dakwah yang murni'.

Tidak Mirip di Zaman Nabi?

Kalau yang anda maksud dengan 'sudah bukan gerakan dakwah yang murni' adalah karena partai itu tidak sesuai dengan model dakwah di zaman Rasullullah SAW, jawabannya memang benar memang tidak murni seperti di zaman Rasulullah.

Sebab realitas keadaan di masa Nabi SAW dengan di masa sekarang sangat jauh berbeda. Di masa Nabi, posisi beliau adalah penguasa kota Madinah secara mutlak. Di masa itu belum ada pembagian kekuasaan seperti di zaman sekarang yang menganut trias-politika model Montesque. Jalur untuk menuju ke tampuk kekuasaan tertinggi yang dilalui beliau SAW memang beda dengan zaman sekarang.

Namun perbedaan ini semata-mata karena realitasnya berbeda. Para ulama menyebutnya dengan istilah fiqhul waqi' (fiqih realitas). Sebagaimana kita ketahui, fiqih adalah hasil ijithad dengan membandingkan antara dalil-dalil nash syar'i dengan realitas yang ada. Setiap realitas yang ada berubah entah karena tempat, waktu, atau faktor-faktor lain, maka hukum fiqihnya dapat berubah juga.

Kalau Rasulullah SAW tidak mendirikan partai dalam perjuangan beliau, tentu bukan karena partai itu otomatis hukumnya haram. Tetapi karena memang di masa itu secara realitas, tidak ada pola berpartai. Yang berlaku adalah hubungan kesukuan dan qabilah. Bahkan untuk menyatukan suku dan qabilah itu, caranya justru dengan menikahi anak kepala suku.

Partai Terbuka?

Kalau yang antum maksud dengan sudah tidak murni lagi gerakan dakwah adalah karena partai itu membuka diri menjadi partai terbuka, memang benar juga.

Istilah 'partai terbuka' sering dimunculkan oleh para tokoh PKS dengan pengertian bahwa orang-orang yang bukan muslim pun boleh menjadi wakil di legislatif. Jadi partai itu bukan hanya untuk umat Islam saja, melainkan juga terbuka untuk agama lain. Saudara kita dari agama lain itu bukan hanya sekedar boleh jadi anggota, tetapi juga punya hak untuk dicalonkan menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif.

Walaupun istilah 'partai terbuka' tidak diakui secara resmi, namun wacana ini berkembang secara cukup menyengat di kalangan tokoh-tokohnya. Tidak sedikit kalangan baik internal maupun eksternal yang cukup terperanjat dengan istilah partai terbuka itu.

Tentu pihak PKS punya alasan untuk ini. Pertama, istilah partai terbuka itu bukan istilah resmi yang direkomendasikan oleh Majelis Syuro sebagai otoritas penentu kebijakan tertinggi. Kedua, sudah ada seruan untuk tidak menggunakan istilah partai terbuka yang diteken juga oleh kedua Dewan Syariah.

Mungkin dahulu kenapa harus keluar istilah itu, karena untuk menjaring suara di wilayah yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Kebijakan yang seharusnya berlaku hanya untuk wilayah sempit itu, entah bagaimana, kemudian mencuat menjadi isu nasional.

Gaya Hidup Mewah

Kalau yang dimaksud dengan 'bukan gerakan dakwah yang murni' adalah prilaku sebagian elit partai yang sering dibicarakan punya gaya hidup yang tidak sebagaimana gaya hidup para simpatisannya, tentu ini wilayah yang jauh lebih panas.

Saya tidak bisa memberikan komentar dalam masalah ini, karena kita sudah masuk wilayah yang tidak etis untuk dibicarakan, lantaran ini sudah terkait dengan urusan kasus-kasus individu.

Sebab Islam memang tidak mengharamkan pemeluknya untuk menjadi orang kaya. Bahkan kalau tidak ada orang kaya, siapa nanti yang bayar zakat atau pergi haji? Siapa yang akan berwakaf sebagaimana Umar bin Al-Khattab mewakafkan kebun kurmanya?

Namun lepas dari urusan halal atau haram menjadi orang kaya, memang kita juga mengenal nilai-nilai etika dan akhlak. Kedermawanan, kemurahan hati, kesederhanaan, kewara'an dan kedekatan dengan fakir miskin adalah hal-hal yang secara psikologis akan mendekatkan diri kepada Alllah sekaligus kepada umat.

Contoh bagaimana pola hidup sederhana Rasulullah SAW yang pernah 3 bulan tidak mengepul asap dapurnya, mungkin perlu juga direnungi. Bukan apa-apa, sementara sebagian besar umat ini masih hidup di bawah kemiskinan, rasanya kok kurang etis kalau ada elitnya secara mencolok memperlihatkan kekayaannya. Rasanya kurang terkesan dekat dengan umat kalau dalam pandangan umatnya malah terkesan pamer mobil, rumah mewah, tanah, istri baru yang cantik, dan berbagai bentuk kemewahan lain.

Walau pun dengan husnudzdzan kita yakin bahwa semua itu didapat dengan jalan yang halal, namun secara etika memang akan menjadi lain ketika kekontrasan kaya dan miskin itu begitu nyata.

Akan tetapi apakah sikap mewah itu membuat sebuah partai jadi dianggap sudah bukan gerakan dakwah yang murni lagi, diskusi kita rasanya akan menjadi lebih panjang.

Sama-sama Bekerja

Berpartai atau tidak berpartai, keduanya sama-sama ijtihad dakwah. Keduanya sama-sama merupakan pilihan yang tentunya didasari dengan sekian banyak dalil dan hujjah. Termasuk syuro dan diskusi panjang.

Tetapi selama tujuannya sama, yaitu ingin membangun umat Islam dengan sepenuh perintah Allah, menegakkan keadilan, kesejahteraan, peradaban, kejayaan, kemakmuran, keamanan, keteraturan, kekuatan ekonomi, rasanya tidak layak kalau harus saling mencaci dan mencela.

Juga tidak enak didengar oleh umat lain ketika kedua kelompok ini saling membeberkan kekuargan saudaranya, apalagi sampai masing-masing mendirikan kubu yang mana keduanya membanggakan kelompoknya.

Ada baiknya kita berakhlaq seperti akhlaq imam mazhab, yang dengan sangat bersahajanya mengatakan bahwa pendapat dirinya benar, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pendapat orang lain juga benar. Namanya saja ijtihad, tidak ada yang mutlak pasti benar.

Dan saling menyalahkan atas sesama ijtihad, merupakan sikap yang tidak mungkin keluar dari sesama mujtahid. Biasanya tindakan menyalahkan ijtihad orang lain hanya dilakukan oleh muqallid, orang yang sekedar taqlid, bukan pekerjaan mujtahid.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

0 Responses